Cerpen
Aku Ingin Menjadi Istrimu
Karya "Asma Nadia"
"Bang, aku ingin menjadi istrimu," pintaku pelan.
Tapi lelaki, tempat cintaku berlabuh setahun ini, bagai tak mendengar. Ia terjerat hari-hari yang sibuk. Pergi pagi, dan pulang ketika senja usai. Tak jarang dini hari baru pintu rumahnya terdengar berderit.
Aku tahu, karena hampir tiap malam aku menunggunya. Kesetiaan, yang membuahkan kantung yang menggelap di bawah mataku.
"Kenapa matamu, Nia? Makin hari makin tak bersinar saja. Jangan terlampau sering begadang."
Mama, seperti juga yang lain, tak pernah mengerti alasanku berjaga tiap malam. Tak ada yang memahami apa yang kutunggu. Kecuali Bandi, tempat cintaku bersandar. Ia tak pernah sekalipun menyinggung soal mataku yang kian cekung. Mungkin karena lelaki seperti dia mengerti jerih payah orang yang mencintai. Kesetiaan yang mengalahkan penglihatan fisik.
Tidak seperti pasangan-pasangan lain, dalam angan kebanyakan orang, kami memang berbeda. Kesibukan Bandi menafkahi keluarganya, membuat lelaki itu harus bekerja ekstra keras. Meskipun begitu, pertemuan kami rutin. Walaupun hanya sebentar sekali.
Di luar waktu kerjanya sebagai wartawan, lelaki itu menyempatkan diri menulis cerpen, puisi, resensi, opini, apa saja, untuk banyak media. Komputer, ia belum punya. Itulah mengapa Bandi rajin berlama-lama di kantor.
Dan sebagai pasangan yang setia, aku harus mengerti.
Sosoknya yang pekerja keras, itu yang membuatku makin terpikat. Jatuh hati kian dalam. Lainnya?
"Abang bisa mengetik di rumah. Kapan saja Abang mau. Tak usah sungkan."
Minggu sore itu, dengan baju kurung yang baru selesai dijahitkan Mama semalam, kami berbincang sebentar di teras rumah. Tapi tawaranku yang tak sepenuhnya tulus, hanya karena ingin bersamanya lebih sering, ditolaknya halus.
"Jangan, Nia. Abang pulang dari kantor sudah malam. Tak enak sama orang tuamu.”
Kalimat tegasnya menunjukkan kemandirian, dan mental yang bukan aji mumpung. Bukan tanpa alasan aku menawarinya mengetik, mengingat kami punya lebih dari enam komputer di rumah. Paviliun rumah memang sejak lama aku jadikan rental komputer dan warnet. Meski awalnya tak setuju karena orangtuaku berpikir kami tak kekurangan uang, toh rental yang kukelola kemudian berjalan semakin baik. Uang mengalir, pelanggan puas. Di sisi lain, aku tak pernah lelah menanti Bandi pulang. Tidak masalah apakah ia pulang lebih awal, seperti yang sesekali terjadi, atau bahkan menjelang pagi. Sosoknya yang kukuh dengan ransel hitam di punggungnya, tak pernah terlewat dari mataku.
*****
"Aku ingin jadi istrimu, Bang." bisikku lagi.
Tahun kedua berlalu, dan waktu makin meluruhkan hatiku atas sosok keras bernama Bandi. Lelaki tegap, dengan kulit kecoklatan yang baik hati dan perhatian.
"Pagi-pagi begini sudah buka?"
Aku mengangguk. Menyembunyikan debaran jantung yang gemuruh, dan napas tersengal karena berlari dari kamar, hanya untuk mengejar bayangnya.
"Bang Bandi pun sepagi ini sudah jalan? Biasanya jam tujuh seperempat, kan?"
Lelaki itu tertawa. Giginya yang kecil-kecil berbaris rapi. Memberikan pemandangan yang membuatku jatuh cinta, lagi dan lagi. Perasaan yang membuatku seperti tak pernah merasa cukup mengambil kursus. Kemarin belajar masak, lalu bikin kue, kemudian menjahit, ahh apa lagi? Biarlah, yang penting aku bisa membahagiakan Bandi.
Di depanku lelaki pujaan itu masih tersenyum. Baru kemudian kusadari sesuatu yang membuatku tersipu. Apa kataku barusan? Tujuh seperempat? Ah, pengamatan yang sedetil itu, sungguh memalukan! pikirku terlambat.
Tapi Bandi menutup perasaanku yang tak karuan dengan senyum lebar, dan sebuah buku di tangannya.
"Untukmu, Nia. Belum terlalu lama terbit. Bagus sekali isinya tentang...."
Dan lelaki yang tadi berjalan tergesa-gesa, untuk sesaat seperti lupa bahwa ia sedang memburu waktu. Dengan antusias, kedua tangannya bergerak-gerak, memberiku gambaran sepintas isi buku yang disodorkannya.
Wajahnya yang semangat.
Aku menatapnya, dengan perasaan terjerembab. Kagum dengan sosoknya yang
cerdas, sekaligus merasa beruntung karena aku diberi kesempatan mencintainya.
Hari-hari kami sederhana namun indah. Ia membawakanku banyak buku, yang kubalas dengan setoples kue-kue buatanku sendiri. Begitu indahnya hingga tahun ketiga berlalu. Kemudian terlewat tahun keempat. Selama itu, aku tak pernah lelah mengungkapkan dan menyatakan betapa ingin aku menjadi istrinya.
Bandi tak pernah menjawab keinginanku. Aku menenangkan diri dengan berbagai pikiran positif. Barangkali kesibukan, mungkin ia belum merasa siap, ucapku menghibur hati, setiap kali perasaan ragu timbul.
Tapi kesabaran akan penantian, boleh jadi hanya milikku. Sebab Mama kemudian seperti tak punya kerjaan lain, kecuali memburuku dengan kalimat itu.
"Menikahlah, Nia. Apalagi yang kau tunggu?"
Bandi! Tak ada yang lain. Dan tak bisa yang lain!
Tahun berikutnya, Papa ikut mendesakku.
"Anak Om Hasnan baik, Nia. Kehidupannya pun mapan. Dia direktur termuda, di perusahaan Om Hasnan."
Aku tidak sedikit pun tertarik. Lelaki yang kaya karena cucuran harta orang tua, mana bisa memenangkan hatiku? pikiranku terbawa pada Bandi. Sosoknya, kerja kerasnya, peluh keringat yang tampak jelas masih menempel di dahinya, setiap melintasi jendela kamarku.
Anak Om Hasnan mungkin baik, tapi dia tidak seperti Bandi.
Lalu calon-calon lain disodorkan. Tetapi setiap kali, kepalaku makin terlatih menggeleng dan melahirkan helaan napas putus asa dari Papa.
Mama mendekatiku dengan cara serupa. Menawarkan calon demi calon yang dirasanya pantas, dan mengangkat martabat orang tua.
Tapi selalu saja kutemukan nilai minus pada mereka. Gilang, tak pernah serius. Herry terlalu adventurir, buat seorang Nia yang pecinta rumah. Sementara Agus terlalu matematis.
Cuma Bandi;, yang cerdas dan memiliki sikap merakyat, yang merebut semua nilai plus, bahkan dalam kesederhanaannya.
Cuma Bandi, yang membuatku tak sungkan merendahkan harga diri dengan berkali-kali mengungkapkan harapanku. Tak pernah bosan membisikkan kalimat itu,
“Aku ingin menjadi istrimu,"
Namun seperti yang sudah-sudah, kalimatku hanya terbawa angin, dan menguap tanpa bekas.
Bandi, seperti tak menyediakan tempat, untuk sebuah pernikahan.
*****
“Cinta,”
Suatu hari kudengar kalimat itu dari bibirnya. Jelas, tanpa keraguan.
“Cinta harusnya saling mengerti, hanya dengan menatap. Bukan begitu Nia? Cinta, harusnya tak perlu membuat dua orang kekasih harus saling mengemis. Cinta….”
Ia mendesah. Pandangannya nanar. Aku bisa merasakan kesedihan hatinya hari itu.
Tapi cintaku tak berkata apa-apa lagi. Ia pergi setelah lebih dulu menyodorkan sebuah buku yang membuatku menangis berhari-hari. Sungguh, belum pernah ada kisah asmara yang kubaca dan menorehkan begitu banyak kesedihan, setelah Romeo dan Juliet.
“Bagus sekali, Bang. Nia sampai menangis dibuatnya.”
Bandi hanya tersenyum tipis. Tangannya yang kokoh menerima buku yang kukembalikan. Tuhan, begitu ingin aku bersandar dalam rengkuhannya.
Tapi tangan itu selalu sopan, tak pernah menjamahku.
“Cinta itu menghormati, Nia. Cinta tak saling memanfaatkan.”
Aku mengangguk. Seperti biasa terbius oleh kata-kata Bandi. Terpesona oleh akuratnya kata dan laku lelaki itu.
Bandi tak menyentuhku, bukan tak cinta. Justru karena ia cinta. Bukankah seperti katanya, cinta itu tak kurang ajar? Cinta menghormati?
“Bang, aku ingin menjadi istrimu,” bisikanku mulai bercampur isak. Ahh, betapa inginnya. Kenapa Bandi tak bisa mengerti? Bukankah dua orang yang saling menyinta harusnya saling memahami, hanya dengan memandang?
Lalu bertubi-tubi, kegembiraan yang menyedihkan itu datang.
“Kak Nia, maafkan Ita.”
Aku mengangguk. Meski sesudahnya aku perlu berhari-hari untuk menumpahkan tangis dalam diam di bantalku.
Lalu Riza, Nina, dan terakhir….
“Kak, Linda minta maaf.”
Giliran adik bungsuku meminta. Aku mengangguk. Menahan air mata yang menggayut memberati mataku. Seharusnya aku bahagia, adik-adikku menamatkan kisah cinta mereka lebih dini.
Pernikahan adik bungsuku dirayakan besar-besaran oleh kedua orang tua kami. Seolah Mama dan Papa telah letih, dan memutuskan tak perlu menyimpan sedikit pun tabungan untuk anak mereka yang sulung.
Tapi tahun memang berlalu secepat malam tiba. Aku tak menyadari kapan Mama dan Papa mulai berhenti memintaku menikah. Yang kutahu tak ada lagi nama-nama yang mereka sodorkan padaku. Awalnya hal itu membuatku merasa bebas, ya…bebas menunggu Bandi. Baru kemudian kusadari hatiku yang hempas, anehnya oleh sesuatu yang tak pernah berubah.
Bandi tak berubah sedikit pun. Masih seperti dulu. Pergi jam tujuh seperempat, dan pulang ketika malam tenggelam. Sosoknya pun masih sama, sabar, kuat dan perhatian.
Aku pun tak pernah berubah. Masih menemaninya dengan setia. Berdandan rapi di pagi hari untuk melepasnya ke kantor. Malamnya, menanti kepulangan lelaki itu meski hanya lewat gorden jendela kamarku.
Tidak tahukah Bandi bahwa kedua mataku ini hanya bisa terlelap setelah memastikan sosoknya yang gagah memasuki rumah?
Tapi ketiadaan kemajuan dalam hubungan kami tidak membuatku berhenti meminta. Seperti juga malam itu.
“Bang, aku ingin menjadi istrimu,” kataku pelan dengan air mata meleleh.
Tapi Bandi meski tetap ramah dan baik hati, seperti yang sudah-sudah tak juga menanggapi. Padahal kesabaranku, bakti dan kesetiaanku…. Lalu kue-kue yang selalu berganti resep setiap minggu?
“Bikin kue apalagi sepagi ini, Nia?”
Aku tak menjawab pertanyaan Mama. Sudah pukul tujuh lewat sepuluh. Lima menit lagi Bandi akan lewat, dan aku tak boleh terlambat.
Kakiku bergegas ke pintu depan. Di tanganku, setoples kue coklat bertabur kismis, tampak manis dan menggoda.
Bersyukurlah, dalam kesederhanaan. Dalam ketiadaan. Bersyukur dengan apa yang kita miliki.
Bandi sering mengulang-ulang kalimat itu. Mungkin maksudnya supaya aku tak lagi berulang-ulang mengucapkan kalimat itu, keinginanku untuk menjadi istrinya. Aku mengangguk. Melambaikan tangan pada Bandi yang pagi itu melintas dengan banyak tas di tangan.
Berikutnya adalah hari-hari yang tak kumengerti. Sebab Bandi tak pernah kelihatan lagi. Ia lenyap dan dengan cepat kusadari ketika malam itu hingga azan Subuh bergema, aku tak melihat lelaki tercinta itu memasuki rumahnya.
Perasaan panik serta-merta melanda diriku. Ya Allah, sesuatu mestilah menimpa lelaki terkasih itu.
Tapi, kecuali aku, sepertinya tak ada orang lain yang merasa kehilangan. Bahkan tidak ayah dan ibu, serta adik-adiknya yang enam orang itu.
Aku mulai menangis. Selama beberapa hari bahkan tak ada sesuap nasi pun yang bisa kutelan. Ketika sepekan lewat dan Bandi tak juga kembali, aku menenggelamkan diri dalam kamar. Menguncinya dan tidak membiarkan siapapun mengusik kesedihanku.
Bandi, sesuatu pasti terjadi pada dia! batinku tak mungkin dibohongi. Keluarga Bandi pastilah hanya menghibur ketika mengatakan lelaki itu mendapatkan pekerjaaan dengan gaji besar di luar negeri. Tidak mungkin Bandi tak mengabarkan padaku informasi sepenting itu. Bukankah aku cintanya, seperti dia cintaku?
Setiap hari, kuhabiskan waktu dengan meringkuk di kamar, sementara mataku terus terpaku, mengintip dari balik gorden, mencari-cari bayangan Bandi yang bisa kapan saja datang, mungkin dalam keadaan terluka. Oh Tuhan!
Kedua mataku terasa penat karena terlalu banyak menangis dan berjaga. Aku tak lagi ingat makan, mandi, bahkan tak peduli sama sekali dengan kelangsungan rental yang kurintis. Bandi lebih penting dari itu semua!
Mama dan Papa serta adik-adikku tentu saja terlihat sedih. Tapi mereka sama sekali tak paham apa yang kurasa. Gelombang kepedihan, perasaan hampa, seolah hampir seluruh nyawaku tercerabut, membuatku tak memiliki keinginan melakukan apapun.
Syukurnya, melewati tiga bulan dalam masa-masa berduka, setitik harapan muncul.
Bandi tak apa-apa. Perasaanku mengatakan dia masih hidup, dan bisa pulang kapan saja. Mungkin sebentar lagi.
Lalu tubuhku dirasuki tenaga baru. Hari itu kuputuskan keluar kamar. Sinar matahari yang selama ini kumusuhi, segera saja menyipitkan mataku. Tapi kegembiraan meledak-ledak, mengalahkan semua keengganan.
Cepat, seperti tak ingin kehilangan waktu, aku mengambil baju yang paling baik yang kupunya, lalu berlari ke kamar mandi. Menyeka tubuhku keras-keras dengan spon sabun, hingga bersih dan dipenuhi aroma harum sabun. Selepas mengenakan baju, kusemprotkan minyak wangi, lalu berhias secantik mungkin.
Orang-orang yang tak mengerti mengatakan bedakku terlalu tebal. Aku hanya mencibir. Mereka tak memahami sosok istimewa yang kunanti.
Tapi hari itu Bandi belum pulang. Tak apa. Yang penting adalah aku selalu siap, jika ia sewaktu-waktu datang. Bajuku harus rapi, tubuhku harus wangi, rambutku harus selalu dikeramas tiap hari. Bedak, sedikit lipstik kucoretkan dibibirku yang akhir-akhir ini sering pecah-pecah. Aku tak ingin ada yang terlewat. Semua harus sempurna, ketika Bandi pulang nanti.
Karya "Asma Nadia"
"Bang, aku ingin menjadi istrimu," pintaku pelan.
Tapi lelaki, tempat cintaku berlabuh setahun ini, bagai tak mendengar. Ia terjerat hari-hari yang sibuk. Pergi pagi, dan pulang ketika senja usai. Tak jarang dini hari baru pintu rumahnya terdengar berderit.
Aku tahu, karena hampir tiap malam aku menunggunya. Kesetiaan, yang membuahkan kantung yang menggelap di bawah mataku.
"Kenapa matamu, Nia? Makin hari makin tak bersinar saja. Jangan terlampau sering begadang."
Mama, seperti juga yang lain, tak pernah mengerti alasanku berjaga tiap malam. Tak ada yang memahami apa yang kutunggu. Kecuali Bandi, tempat cintaku bersandar. Ia tak pernah sekalipun menyinggung soal mataku yang kian cekung. Mungkin karena lelaki seperti dia mengerti jerih payah orang yang mencintai. Kesetiaan yang mengalahkan penglihatan fisik.
Tidak seperti pasangan-pasangan lain, dalam angan kebanyakan orang, kami memang berbeda. Kesibukan Bandi menafkahi keluarganya, membuat lelaki itu harus bekerja ekstra keras. Meskipun begitu, pertemuan kami rutin. Walaupun hanya sebentar sekali.
Di luar waktu kerjanya sebagai wartawan, lelaki itu menyempatkan diri menulis cerpen, puisi, resensi, opini, apa saja, untuk banyak media. Komputer, ia belum punya. Itulah mengapa Bandi rajin berlama-lama di kantor.
Dan sebagai pasangan yang setia, aku harus mengerti.
Sosoknya yang pekerja keras, itu yang membuatku makin terpikat. Jatuh hati kian dalam. Lainnya?
"Abang bisa mengetik di rumah. Kapan saja Abang mau. Tak usah sungkan."
Minggu sore itu, dengan baju kurung yang baru selesai dijahitkan Mama semalam, kami berbincang sebentar di teras rumah. Tapi tawaranku yang tak sepenuhnya tulus, hanya karena ingin bersamanya lebih sering, ditolaknya halus.
"Jangan, Nia. Abang pulang dari kantor sudah malam. Tak enak sama orang tuamu.”
Kalimat tegasnya menunjukkan kemandirian, dan mental yang bukan aji mumpung. Bukan tanpa alasan aku menawarinya mengetik, mengingat kami punya lebih dari enam komputer di rumah. Paviliun rumah memang sejak lama aku jadikan rental komputer dan warnet. Meski awalnya tak setuju karena orangtuaku berpikir kami tak kekurangan uang, toh rental yang kukelola kemudian berjalan semakin baik. Uang mengalir, pelanggan puas. Di sisi lain, aku tak pernah lelah menanti Bandi pulang. Tidak masalah apakah ia pulang lebih awal, seperti yang sesekali terjadi, atau bahkan menjelang pagi. Sosoknya yang kukuh dengan ransel hitam di punggungnya, tak pernah terlewat dari mataku.
*****
"Aku ingin jadi istrimu, Bang." bisikku lagi.
Tahun kedua berlalu, dan waktu makin meluruhkan hatiku atas sosok keras bernama Bandi. Lelaki tegap, dengan kulit kecoklatan yang baik hati dan perhatian.
"Pagi-pagi begini sudah buka?"
Aku mengangguk. Menyembunyikan debaran jantung yang gemuruh, dan napas tersengal karena berlari dari kamar, hanya untuk mengejar bayangnya.
"Bang Bandi pun sepagi ini sudah jalan? Biasanya jam tujuh seperempat, kan?"
Lelaki itu tertawa. Giginya yang kecil-kecil berbaris rapi. Memberikan pemandangan yang membuatku jatuh cinta, lagi dan lagi. Perasaan yang membuatku seperti tak pernah merasa cukup mengambil kursus. Kemarin belajar masak, lalu bikin kue, kemudian menjahit, ahh apa lagi? Biarlah, yang penting aku bisa membahagiakan Bandi.
Di depanku lelaki pujaan itu masih tersenyum. Baru kemudian kusadari sesuatu yang membuatku tersipu. Apa kataku barusan? Tujuh seperempat? Ah, pengamatan yang sedetil itu, sungguh memalukan! pikirku terlambat.
Tapi Bandi menutup perasaanku yang tak karuan dengan senyum lebar, dan sebuah buku di tangannya.
"Untukmu, Nia. Belum terlalu lama terbit. Bagus sekali isinya tentang...."
Dan lelaki yang tadi berjalan tergesa-gesa, untuk sesaat seperti lupa bahwa ia sedang memburu waktu. Dengan antusias, kedua tangannya bergerak-gerak, memberiku gambaran sepintas isi buku yang disodorkannya.
Wajahnya yang semangat.
Aku menatapnya, dengan perasaan terjerembab. Kagum dengan sosoknya yang
cerdas, sekaligus merasa beruntung karena aku diberi kesempatan mencintainya.
Hari-hari kami sederhana namun indah. Ia membawakanku banyak buku, yang kubalas dengan setoples kue-kue buatanku sendiri. Begitu indahnya hingga tahun ketiga berlalu. Kemudian terlewat tahun keempat. Selama itu, aku tak pernah lelah mengungkapkan dan menyatakan betapa ingin aku menjadi istrinya.
Bandi tak pernah menjawab keinginanku. Aku menenangkan diri dengan berbagai pikiran positif. Barangkali kesibukan, mungkin ia belum merasa siap, ucapku menghibur hati, setiap kali perasaan ragu timbul.
Tapi kesabaran akan penantian, boleh jadi hanya milikku. Sebab Mama kemudian seperti tak punya kerjaan lain, kecuali memburuku dengan kalimat itu.
"Menikahlah, Nia. Apalagi yang kau tunggu?"
Bandi! Tak ada yang lain. Dan tak bisa yang lain!
Tahun berikutnya, Papa ikut mendesakku.
"Anak Om Hasnan baik, Nia. Kehidupannya pun mapan. Dia direktur termuda, di perusahaan Om Hasnan."
Aku tidak sedikit pun tertarik. Lelaki yang kaya karena cucuran harta orang tua, mana bisa memenangkan hatiku? pikiranku terbawa pada Bandi. Sosoknya, kerja kerasnya, peluh keringat yang tampak jelas masih menempel di dahinya, setiap melintasi jendela kamarku.
Anak Om Hasnan mungkin baik, tapi dia tidak seperti Bandi.
Lalu calon-calon lain disodorkan. Tetapi setiap kali, kepalaku makin terlatih menggeleng dan melahirkan helaan napas putus asa dari Papa.
Mama mendekatiku dengan cara serupa. Menawarkan calon demi calon yang dirasanya pantas, dan mengangkat martabat orang tua.
Tapi selalu saja kutemukan nilai minus pada mereka. Gilang, tak pernah serius. Herry terlalu adventurir, buat seorang Nia yang pecinta rumah. Sementara Agus terlalu matematis.
Cuma Bandi;, yang cerdas dan memiliki sikap merakyat, yang merebut semua nilai plus, bahkan dalam kesederhanaannya.
Cuma Bandi, yang membuatku tak sungkan merendahkan harga diri dengan berkali-kali mengungkapkan harapanku. Tak pernah bosan membisikkan kalimat itu,
“Aku ingin menjadi istrimu,"
Namun seperti yang sudah-sudah, kalimatku hanya terbawa angin, dan menguap tanpa bekas.
Bandi, seperti tak menyediakan tempat, untuk sebuah pernikahan.
*****
“Cinta,”
Suatu hari kudengar kalimat itu dari bibirnya. Jelas, tanpa keraguan.
“Cinta harusnya saling mengerti, hanya dengan menatap. Bukan begitu Nia? Cinta, harusnya tak perlu membuat dua orang kekasih harus saling mengemis. Cinta….”
Ia mendesah. Pandangannya nanar. Aku bisa merasakan kesedihan hatinya hari itu.
Tapi cintaku tak berkata apa-apa lagi. Ia pergi setelah lebih dulu menyodorkan sebuah buku yang membuatku menangis berhari-hari. Sungguh, belum pernah ada kisah asmara yang kubaca dan menorehkan begitu banyak kesedihan, setelah Romeo dan Juliet.
“Bagus sekali, Bang. Nia sampai menangis dibuatnya.”
Bandi hanya tersenyum tipis. Tangannya yang kokoh menerima buku yang kukembalikan. Tuhan, begitu ingin aku bersandar dalam rengkuhannya.
Tapi tangan itu selalu sopan, tak pernah menjamahku.
“Cinta itu menghormati, Nia. Cinta tak saling memanfaatkan.”
Aku mengangguk. Seperti biasa terbius oleh kata-kata Bandi. Terpesona oleh akuratnya kata dan laku lelaki itu.
Bandi tak menyentuhku, bukan tak cinta. Justru karena ia cinta. Bukankah seperti katanya, cinta itu tak kurang ajar? Cinta menghormati?
“Bang, aku ingin menjadi istrimu,” bisikanku mulai bercampur isak. Ahh, betapa inginnya. Kenapa Bandi tak bisa mengerti? Bukankah dua orang yang saling menyinta harusnya saling memahami, hanya dengan memandang?
Lalu bertubi-tubi, kegembiraan yang menyedihkan itu datang.
“Kak Nia, maafkan Ita.”
Aku mengangguk. Meski sesudahnya aku perlu berhari-hari untuk menumpahkan tangis dalam diam di bantalku.
Lalu Riza, Nina, dan terakhir….
“Kak, Linda minta maaf.”
Giliran adik bungsuku meminta. Aku mengangguk. Menahan air mata yang menggayut memberati mataku. Seharusnya aku bahagia, adik-adikku menamatkan kisah cinta mereka lebih dini.
Pernikahan adik bungsuku dirayakan besar-besaran oleh kedua orang tua kami. Seolah Mama dan Papa telah letih, dan memutuskan tak perlu menyimpan sedikit pun tabungan untuk anak mereka yang sulung.
Tapi tahun memang berlalu secepat malam tiba. Aku tak menyadari kapan Mama dan Papa mulai berhenti memintaku menikah. Yang kutahu tak ada lagi nama-nama yang mereka sodorkan padaku. Awalnya hal itu membuatku merasa bebas, ya…bebas menunggu Bandi. Baru kemudian kusadari hatiku yang hempas, anehnya oleh sesuatu yang tak pernah berubah.
Bandi tak berubah sedikit pun. Masih seperti dulu. Pergi jam tujuh seperempat, dan pulang ketika malam tenggelam. Sosoknya pun masih sama, sabar, kuat dan perhatian.
Aku pun tak pernah berubah. Masih menemaninya dengan setia. Berdandan rapi di pagi hari untuk melepasnya ke kantor. Malamnya, menanti kepulangan lelaki itu meski hanya lewat gorden jendela kamarku.
Tidak tahukah Bandi bahwa kedua mataku ini hanya bisa terlelap setelah memastikan sosoknya yang gagah memasuki rumah?
Tapi ketiadaan kemajuan dalam hubungan kami tidak membuatku berhenti meminta. Seperti juga malam itu.
“Bang, aku ingin menjadi istrimu,” kataku pelan dengan air mata meleleh.
Tapi Bandi meski tetap ramah dan baik hati, seperti yang sudah-sudah tak juga menanggapi. Padahal kesabaranku, bakti dan kesetiaanku…. Lalu kue-kue yang selalu berganti resep setiap minggu?
“Bikin kue apalagi sepagi ini, Nia?”
Aku tak menjawab pertanyaan Mama. Sudah pukul tujuh lewat sepuluh. Lima menit lagi Bandi akan lewat, dan aku tak boleh terlambat.
Kakiku bergegas ke pintu depan. Di tanganku, setoples kue coklat bertabur kismis, tampak manis dan menggoda.
Bersyukurlah, dalam kesederhanaan. Dalam ketiadaan. Bersyukur dengan apa yang kita miliki.
Bandi sering mengulang-ulang kalimat itu. Mungkin maksudnya supaya aku tak lagi berulang-ulang mengucapkan kalimat itu, keinginanku untuk menjadi istrinya. Aku mengangguk. Melambaikan tangan pada Bandi yang pagi itu melintas dengan banyak tas di tangan.
Berikutnya adalah hari-hari yang tak kumengerti. Sebab Bandi tak pernah kelihatan lagi. Ia lenyap dan dengan cepat kusadari ketika malam itu hingga azan Subuh bergema, aku tak melihat lelaki tercinta itu memasuki rumahnya.
Perasaan panik serta-merta melanda diriku. Ya Allah, sesuatu mestilah menimpa lelaki terkasih itu.
Tapi, kecuali aku, sepertinya tak ada orang lain yang merasa kehilangan. Bahkan tidak ayah dan ibu, serta adik-adiknya yang enam orang itu.
Aku mulai menangis. Selama beberapa hari bahkan tak ada sesuap nasi pun yang bisa kutelan. Ketika sepekan lewat dan Bandi tak juga kembali, aku menenggelamkan diri dalam kamar. Menguncinya dan tidak membiarkan siapapun mengusik kesedihanku.
Bandi, sesuatu pasti terjadi pada dia! batinku tak mungkin dibohongi. Keluarga Bandi pastilah hanya menghibur ketika mengatakan lelaki itu mendapatkan pekerjaaan dengan gaji besar di luar negeri. Tidak mungkin Bandi tak mengabarkan padaku informasi sepenting itu. Bukankah aku cintanya, seperti dia cintaku?
Setiap hari, kuhabiskan waktu dengan meringkuk di kamar, sementara mataku terus terpaku, mengintip dari balik gorden, mencari-cari bayangan Bandi yang bisa kapan saja datang, mungkin dalam keadaan terluka. Oh Tuhan!
Kedua mataku terasa penat karena terlalu banyak menangis dan berjaga. Aku tak lagi ingat makan, mandi, bahkan tak peduli sama sekali dengan kelangsungan rental yang kurintis. Bandi lebih penting dari itu semua!
Mama dan Papa serta adik-adikku tentu saja terlihat sedih. Tapi mereka sama sekali tak paham apa yang kurasa. Gelombang kepedihan, perasaan hampa, seolah hampir seluruh nyawaku tercerabut, membuatku tak memiliki keinginan melakukan apapun.
Syukurnya, melewati tiga bulan dalam masa-masa berduka, setitik harapan muncul.
Bandi tak apa-apa. Perasaanku mengatakan dia masih hidup, dan bisa pulang kapan saja. Mungkin sebentar lagi.
Lalu tubuhku dirasuki tenaga baru. Hari itu kuputuskan keluar kamar. Sinar matahari yang selama ini kumusuhi, segera saja menyipitkan mataku. Tapi kegembiraan meledak-ledak, mengalahkan semua keengganan.
Cepat, seperti tak ingin kehilangan waktu, aku mengambil baju yang paling baik yang kupunya, lalu berlari ke kamar mandi. Menyeka tubuhku keras-keras dengan spon sabun, hingga bersih dan dipenuhi aroma harum sabun. Selepas mengenakan baju, kusemprotkan minyak wangi, lalu berhias secantik mungkin.
Orang-orang yang tak mengerti mengatakan bedakku terlalu tebal. Aku hanya mencibir. Mereka tak memahami sosok istimewa yang kunanti.
Tapi hari itu Bandi belum pulang. Tak apa. Yang penting adalah aku selalu siap, jika ia sewaktu-waktu datang. Bajuku harus rapi, tubuhku harus wangi, rambutku harus selalu dikeramas tiap hari. Bedak, sedikit lipstik kucoretkan dibibirku yang akhir-akhir ini sering pecah-pecah. Aku tak ingin ada yang terlewat. Semua harus sempurna, ketika Bandi pulang nanti.
Takbir Cinta Zahrana
Karya Habiburrahman El-hirazy
Matanya berkaca-kaca. Kalau tidak ada kekuatan iman dalam dada ia mungkin telah memilih sirna dari dunia. Ujian yang ia derita sangat berbeda dengan orang- orang seusianya. Banyak yang memandangnya sukses. Hidup berkecukupan. Punya pekerjaan yang terhormat dan bisa dibanggakan. Bagaimana tidak, ia mampu meraih gelar master teknik dari sebuah institut teknologi paling bergengsi di negeri ini. Dan kini ia dipercaya duduk dalam jajaran pengajar tetap di universitas swasta terkemuka di ibukota Propinsi Jawa Tengah: Semarang.
Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan penghargaan sebagai dosen paling berdedikasi di kampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama dosen dan dicintai oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh keluarga dan para tetangganya. Bagi perempuan seusianya, nyaris tidak ada yang kurang pada dirinya. Sudah berapa kali ia mendengar pujian tentang kesuksesannya. Hanya ia seorang yang tahu bahwa sejatinya ia sangat menderita.
Ada satu hal yang ia tangisi setiap malam. Setiap kali bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan malam. Ia menangisi takdirnya yang belum juga berubah. Takdir sebagai perawan tua yang belum juga menemukan
jodohnya. Dalam keseharian ia tampak biasa dan ceria. Ia bisa menyembunyikan derita dan sedihnya dengansikap tenangnya.
Ia terkadang menyalahkan dirinya sendir kenapa tidak menikah sejak masih duduk di S.l dahulu? Kenapa tidak berani menikah ketika si Gugun yang mati-matian mencintainya sejak duduk di bangku kuliah itu mengajaknya menikah?
Ia dulu memandang remeh Gugun. Ia menganggap Gugun itu tidak cerdas dan tipe lelaki kerdil. Sekarang si Gugun itu sudah sukses jadi pengusaha cor logam dan baja di Klaten. Karyawannya banyak dan anaknya sudah tiga. Gugun sekarang juga punya usaha Travel Umroh di Jakarta. Setiap kali bertemu, nyaris ia tidak berani mengangkat muka.
Kenapa juga ketika selesai S.l ia tidak langsung menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S.2 di ITB Bandung? Padahal saat itu, temannya satu angkatan si Yuyun menawarkan kakaknya yang sudah buka kios
pakaian dalam di Pasar Bringharjo Jogja. Saat itu kenapa ia begitu tinggi hati. Ia masih memandang
rendah pekerjaan jualan pakaian dalam. Sekarang kakaknya Yuyun sudah punya toko pakaian dan sepatu
yang lumayan besar di Jogja. Akhirnya ia menikah dengan seorang santriwati dari Pesantren Al Munawwir, Krapyak.
Dan sekarang telah membuka SDIT di Sleman. Apa sebetulnya yang ia kejar? Kenapa waktu itu ia tidak juga cepat dewasa dan menyadari bahwa hidup ini berproses.
Ia meneteskan airmata. Dulu banyak mutiara yang datang kepadanya ia tolak tanpa pertimbangan. Dan kini
mutiara itu tidak lagi datang. Kalau pun ada seolah-olah sudah tidak lagi tersedia untuknya. Hanya bebatuan dan sampah yang kini banyak datang dan membuatnya menderita batin yang cukup dalam.
Matanya berkaca-kaca. Ketika ia sadar harus rendah hati. Ketika ia sadar prestasi sejati tidaklah semata-
mata prestasi akademik. Ketika ia sadar dan ingin mencari pendamping hidup yang baik. Baik bagi dirinya
dan juga bagi anak-anaknya kelak. Ketika ia sadar dan ingin menjadi Muslimah seutuhnya. Ketika ia menyadari, semua yang ia temui kini, adalah jalan terjal yang panjang yang menguji kesabarannya.
Umurnya sudah tidak muda lagi. Tiga puluh empat tahun. Teman-teman seusianya sudah ada yang memiliki
anak dua, tiga, empat, bahkan ada yang lima. Adik-adik tingkatnya, bahkan mahasiswi yang ia bimbing
skripsinya sudah banyak yang nikah. Sudah tidak terhitung berapa kali ia menghadiri pernikahan
mahasiswinya. Dan ia selalu hanya bisa menangis iri menyaksikan mereka berhasil menyempurnakan separuh agamanya.
Hari ini ia kembali diuji. Seseorang akan datang.
Datang kepada orangtuanya untuk meminangnya. Ia
masih bimbang harus memutuskan apa nanti. Ia sudah
sangat tahu siapa yang akan datang. Dan sebenarnya ia
juga sudah tahu apa yang harus ia putuskan. Meskipun
pahit ia merasa masih akan bersabar meniti jalan terjal
dan panjang sampai ia menemukan mutiara yang ia
harapkan. Tapi bagaimana ia harus kembali memberikan
pemahaman kepada ayah-ibunya yang sudah mulai
renta?
Hand phone-nya berdering. Dengan berat ia angkat,
"Zahrana?" Suara yang sangat ia kenal. Suara Bu
Merlin, atasannya di kampus. Bu Merlin, ataulengkapnya
Ir. Merlin Siregar M.T., adalah Pembantu Dekan I. Ia
orang kepercayaan Pak Karman. Sejak SMA ia di
Semarang, jadi logat Bataknya nyaris hilang. Bahasa
Jawanya bisa dibilang halus.
"Iya Bu Merlin." Jawabnya dengan airmata menetes di
pipinya.
"Saya dan rombongan Pak Karman sudah sampai
Pedurungan. Dua puluh menit lagi sampai."
"Iya Bu Merlin." Jawabnya hambar, dengan suara
serak.
"Suaramu kok sepertinya serak. Sudahlah Rana,
bukalah hatimu kali ini. Pak Karman memiliki apa yang
diinginkan perempuan. Dia sungguh-sungguh berkenan
menginginkanmu."
"Iya Bu Merlin, semoga keputusan yang terbaik nanti
bisa saya berikan."
"Baguslah kalau begitu. Gitu dulu ya. O ya jangan lupa
dandan yang cantik." Klik. Tanpa salam.
Kali ini yang datang melamarnya bukan orang
sembarangan. Pak H. Sukarman, M.Sc., Dekan Fakultas
Teknik, orang nomor satu di fakultas tempat dia
mengajar. Duda berumur lima puluh lima tahun. Status
dan umur baginya tidak masalah. Sudah bertitel haji.
Kredibilitas intelektualnya tidak diragukan. Materi tak
usah ditanyakan. Di Semarang saja ia punya tiga pom
bensin. Namun soal kredibilitas moralnya, susah
Zahrana untuk memaafkannya. Repotnya, jika ia
menolak ia sangat susah untuk menjelaskan. Ia harus
berkata bagaimana.
Ia telah membicarakan hal ini pada kedua sahabat
karibnya. Si Lina, yang kini jualan buku-buku Islami di
Tembalang. Dan si Wati yang kini jadi isteri lurah
Tlogosari Kulon. Lina berpendapat untuk tidak
mengambil risiko dengan menerima orang amoral
seperti Pak Karman itu. Apapun titel dan jabatannya.
Moral adalah nyawa orang hidup. Jika moral itu hilang
dari seseorang, ia ibarat mayat yang bergentayangan.
Itu pendapat Lina.
Uziek Collection
Uziek Collection
Takbir Cinta Zahrana
Takbir Cinta Zahrana
Sedangkan Wati lain lagi, menurutnya sudah saatnya ia
tidak melangit. Mencari manusia setengah malaikat itu
hal yang mustahil. Selama Pak Karman masih shalat dan
puasa ya terima saja. Apalagi ia orang terpandang. Dan
juga kesempatan seperti ini tidak selalu datang.
Terakhir Wati bilang, "Siapa tahu dengan menikah
denganmu, Pak Karman berubah. Dan di hari tuanya ia
sepenuhnya membaktikan umurnya untuk kebaikan.
Bukankah itu bagian dari dakwah yang agung
pahalanya?"
Ia belum bisa mengambil keputusan. Kata-kata Wati
selalu terngiang-ngiang di telinganya. Ia nyaris
memutuskan untuk menerima saja lamaran Pak Karman.
Namun jika ia teringat apa yang dilakukan Pak Karman
pada beberapa mahasiswi yang dikencaninya diam-diam,
ia tak mungkin memaafkan. Jika sudah demikian
tibatiba wajah keriput kedua orangtuanya muncul
dengan sebuah pertanyaan, "Kowe mikir opo Nduk?
Kowe ngenteni opo? Dadine kapan kowe kawin, Nduk?"1
***
Lima menit sebelum rombongan Pak Karman datang,
Zahrana berbicara kepada kedua orangtuanya. Ia minta
kepada mereka pengertiannya jika ia nanti mengambil
keputusan yang mungkin tidak melegakan mereka
berdua. Diberitahu seperti itu kedua orangtuanya
menangkap apa yang akan terjadi. Dan mereka kembali
pasrah dalam kekecewaan. Namun mereka tetap
berharap akan terjadi hal yang membahagiakan.
Mereka berdoa, kali ini semoga keputusan putri semata
wayang mereka lain dari sebelum-sebelumnya. Semoga
hatinya terbuka. Segera menikah. Dan segera lahir
cucu yang jadi penerus keturunan.
Kamu mikir apa, Anakku? Kamu menunggu apa? Kapan
kamu menikah, Anakku?
la meneguhkan jiwa, menata hati. la juga memprediksi
gaya bahasa yang akan disampaikan pihak Pak Karman.
Dan menyiapkan bahasa yang tepat untuk menjawab. la
juga tidak lupa menyiapkan hidangan yang pantas untuk
menghormati tamu. Ruang tamu telah ia rapikan. Bunga-
bunga ia tata, dan sarung bantal ia ganti dengan yang
baru. Tuan rumah harus bisa menjaga kehormatan. Dan
ia kembali meneguhkan prinsipnya dalam menghadapi
siapapun: harus tenang, bicara yang tepat, rendah hati
dan santun. Itulah senjata para pemenang. Dan ia harus
menang. Ia teringat perkataan Napoleon Hill,
"Kebijakan yang sesungguhnya, biasanya tampak melalui
kerendahan hati dan tidak banyak cakap."
Ia kini tampak tegar. Tak ada lagi airmata. Mental yang
ia siapkan adalah mental seorang dosen pembimbing
yang siap maju sidang membela mahasiswanya
mempertahankan skripsinya. Ia sangat yakin akan
kekuatannya.
Ia berdandan secukupnya. Ia pakai jilbab hijau muda
kesayangannya. Sangat serasi dengan gamis bordir
hijau tua bermotif bunga melati putih kecil-kecil.
Hanya dirinya dan kedua orangtuanya yang akan
menyambut. Ia merasa tak perlu mengundang para
kerabat. Sebab seperti yang telah lalu, jika terjadi hal
yang tidak memuaskan hanya akan jadi gunjingan
panjang tak berkesudahan. Ia tak ingin itu terjadi lagi.
Uziek Collection
Uziek Collection
Takbir Cinta Zahrana
Takbir Cinta Zahrana
Ia ingin para kerabat diundang hanya untuk yang sudah
jadi. Yang tak ada ruang bagi mereka berbincang
kecuali kebaikan. Kali ini yang ia undang justru dua
orang ibu-ibu yang biasa membantu keluarganya selama
ini.
Rombongan Pak Karman datang tepat jam setengah lima
sore. Tidak main-main. Empat mobil. la harus mengakui
kehebatan Bu Merlin mengorganisir ini semua. Juga
keberhasilan Bu Merlin memprovokasi Pak Karman
untuk nekat seperti ini. Ayah ibunya tampak kaget.
Tidak menduga yang datang akan sebanyak ini dan
seserius ini. Untung ruang tamu rumah orangtuanya
cukup luas.
Hanya tiga orang yang tidak dapat tempat duduk.
Terpaksa duduk di beranda. la yakin tujuan Bu Merlin
baik, hanya saja Bu Merlin tidak tahu visi hidupnya saat
ini. Bukan sekadar materi dan kedudukan yang ia
harapkan dari calon suaminya. la mencari calon suami
yang bisa dijadikan imam. Imam yang menjadi bagian
tak terpisahkan dalam ibadahnya kala mengarungi
kehidupan. Karena itulah posisinya benar-benar sulit
kali ini. Bu Merlinlah yang selama ini banyak
membantunya di kampus. Dia jugalah yang dulu memberi
bocoran adanya lowongan dosen di kampusnya.
Rombongan telah duduk tenang. Pak Karman menyukur
bersih kumis dan cambangnya. Ia tampak lebih muda
dari biasanya. Koko biru muda dan peci hitam
membuatnya tampak alim. Seorang lelaki setengah
baya, mengaku sebagai adiknya Pak Karman, namanya
Pak Darmanto mengawali pembicaraan. Unggah-ungguh
dan basa-basi berjalan. Ia sendiri lebih banyak diam.
Tak bicara jika tidak perlu bicara. Ibunya yang
biasanya memang cerewet yang banyak mengimbangi
bicara.
Sesekali ada lelucon-lelucon yang menghangatkan
suasana. Makanan dan minuman dikeluarkan oleh dua
orang ibu-ibu yang rapi berkerudung. "Tape ketan ini
dibuat oleh anakku, si Zahrana ini dengan penuh cinta.
Siapa yang memakannya insya Allah awet muda." Ibunya
melucu sambil mempersilakan tamu-tamunya menikmati
hidangan seadanya. Mendengar hal itu spontan Pak
Karman berkomentar dengan gaya lucu,
"Sebelum yang lain mengambil saya dulu yang harus
mencicipi. Agar awet muda dan bisa menyunting
bidadari."
Spontan perkataan itu disambut tertawa semua yang
hadir, kecuali dirinya. Entah kenapa perkataan itu
menurutnya tidak lucu. Perkataan itu seperti sampah
yang hendak dijejalkan ke telinganya. Bagaimana
mungkin ia hidup bersama orang yang suaranya saja
tidak mau ia dengar.
Lima belas menit basa-basi akhirnya Pak Darmanto,
juru bicara Pak Karman, masuk pada inti kedatangan,
"...dan maksud kedatangan kami adalah untuk
menyambung persaudaraan dan kekeluargaan dengan
keluarga Bapak Munajat. Kami bermaksud menyunting
putri Bapak Munajat, yaitu Dewi Zahrana untuk
saudara kami Bapak H. Sukarman, M.Sc. Alangkah
bahagianya jika maksud dan tujuan kami dikabulkan."
Uziek Collection
Uziek Collection
Takbir Cinta Zahrana
Takbir Cinta Zahrana
Ayahnya menjawab
terbata-bata,
"Pertama....tama, ka...kami sekeluarga menyampaikan
rasa terima kasih atas silaturrahminya. Kami juga
bahagia. Bagi ka..kami lamaran ini adalah suatu bentuk
penghormatan. Dan jika bisa kami akan membalasnya
dengan penghormatan yang le..lebih baik. Namun
masalah jodoh hanya Allahlah yang mengatur. Putri
kami sudah sangat dewasa. Dia lebih berpendidikan
daripada kami berdua. Dia bisa memutuskan sendiri
mana yang baik baginya. Itu yang bisa kami sampaikan."
Masalah sudah jelas. Semua tamu melihat ke arahnya.
la tahu bola sekarang ada di tangannya. Dialah sekarang
yang paling berkuasa di majelis itu. la berusaha untuk
tenang. Setenang ketika ia membantu argumen
mahasiswa yang dibelanya dalam sidang skripsi,
"Saya pernah mendengar Baginda Nabi Muhammad
Saw., pernah bersabda, 'Al 'ajalatu minasy syaithan.
Tergesa-gesa itu datangnya dari setanl' Saya tidak
mau tergesa-gesa. Saya tidak mau mengecewakan
siapapun. Termasuk diri saya sendiri. Maka
perkenankan saya untuk menjawabnya tiga hari ke
depan. Saya akan langsung sampaikan kepada Pak
Karman yang saya hormati. Maafkan jika saya tidak
bisa menjawab sekarang."
Ada sedikit gurat kekecewaan di wajah Pak Darmanto
dan Pak Karman. Namun keduanya tidak bisa bersikap
apapun kecuali setuju. Bu Merlin tersenyum tanda
setuju. Yang lain bisa memahami dan memaklumi.
dengan
suara
rentanya
yang
Hanya Pak Munajat, ayahnya yang meneteskan airmata
mendengar jawaban putrinya itu. Ia sud
Karya Habiburrahman El-hirazy
Matanya berkaca-kaca. Kalau tidak ada kekuatan iman dalam dada ia mungkin telah memilih sirna dari dunia. Ujian yang ia derita sangat berbeda dengan orang- orang seusianya. Banyak yang memandangnya sukses. Hidup berkecukupan. Punya pekerjaan yang terhormat dan bisa dibanggakan. Bagaimana tidak, ia mampu meraih gelar master teknik dari sebuah institut teknologi paling bergengsi di negeri ini. Dan kini ia dipercaya duduk dalam jajaran pengajar tetap di universitas swasta terkemuka di ibukota Propinsi Jawa Tengah: Semarang.
Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan penghargaan sebagai dosen paling berdedikasi di kampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama dosen dan dicintai oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh keluarga dan para tetangganya. Bagi perempuan seusianya, nyaris tidak ada yang kurang pada dirinya. Sudah berapa kali ia mendengar pujian tentang kesuksesannya. Hanya ia seorang yang tahu bahwa sejatinya ia sangat menderita.
Ada satu hal yang ia tangisi setiap malam. Setiap kali bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan malam. Ia menangisi takdirnya yang belum juga berubah. Takdir sebagai perawan tua yang belum juga menemukan
jodohnya. Dalam keseharian ia tampak biasa dan ceria. Ia bisa menyembunyikan derita dan sedihnya dengansikap tenangnya.
Ia terkadang menyalahkan dirinya sendir kenapa tidak menikah sejak masih duduk di S.l dahulu? Kenapa tidak berani menikah ketika si Gugun yang mati-matian mencintainya sejak duduk di bangku kuliah itu mengajaknya menikah?
Ia dulu memandang remeh Gugun. Ia menganggap Gugun itu tidak cerdas dan tipe lelaki kerdil. Sekarang si Gugun itu sudah sukses jadi pengusaha cor logam dan baja di Klaten. Karyawannya banyak dan anaknya sudah tiga. Gugun sekarang juga punya usaha Travel Umroh di Jakarta. Setiap kali bertemu, nyaris ia tidak berani mengangkat muka.
Kenapa juga ketika selesai S.l ia tidak langsung menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S.2 di ITB Bandung? Padahal saat itu, temannya satu angkatan si Yuyun menawarkan kakaknya yang sudah buka kios
pakaian dalam di Pasar Bringharjo Jogja. Saat itu kenapa ia begitu tinggi hati. Ia masih memandang
rendah pekerjaan jualan pakaian dalam. Sekarang kakaknya Yuyun sudah punya toko pakaian dan sepatu
yang lumayan besar di Jogja. Akhirnya ia menikah dengan seorang santriwati dari Pesantren Al Munawwir, Krapyak.
Dan sekarang telah membuka SDIT di Sleman. Apa sebetulnya yang ia kejar? Kenapa waktu itu ia tidak juga cepat dewasa dan menyadari bahwa hidup ini berproses.
Ia meneteskan airmata. Dulu banyak mutiara yang datang kepadanya ia tolak tanpa pertimbangan. Dan kini
mutiara itu tidak lagi datang. Kalau pun ada seolah-olah sudah tidak lagi tersedia untuknya. Hanya bebatuan dan sampah yang kini banyak datang dan membuatnya menderita batin yang cukup dalam.
Matanya berkaca-kaca. Ketika ia sadar harus rendah hati. Ketika ia sadar prestasi sejati tidaklah semata-
mata prestasi akademik. Ketika ia sadar dan ingin mencari pendamping hidup yang baik. Baik bagi dirinya
dan juga bagi anak-anaknya kelak. Ketika ia sadar dan ingin menjadi Muslimah seutuhnya. Ketika ia menyadari, semua yang ia temui kini, adalah jalan terjal yang panjang yang menguji kesabarannya.
Umurnya sudah tidak muda lagi. Tiga puluh empat tahun. Teman-teman seusianya sudah ada yang memiliki
anak dua, tiga, empat, bahkan ada yang lima. Adik-adik tingkatnya, bahkan mahasiswi yang ia bimbing
skripsinya sudah banyak yang nikah. Sudah tidak terhitung berapa kali ia menghadiri pernikahan
mahasiswinya. Dan ia selalu hanya bisa menangis iri menyaksikan mereka berhasil menyempurnakan separuh agamanya.
Hari ini ia kembali diuji. Seseorang akan datang.
Datang kepada orangtuanya untuk meminangnya. Ia
masih bimbang harus memutuskan apa nanti. Ia sudah
sangat tahu siapa yang akan datang. Dan sebenarnya ia
juga sudah tahu apa yang harus ia putuskan. Meskipun
pahit ia merasa masih akan bersabar meniti jalan terjal
dan panjang sampai ia menemukan mutiara yang ia
harapkan. Tapi bagaimana ia harus kembali memberikan
pemahaman kepada ayah-ibunya yang sudah mulai
renta?
Hand phone-nya berdering. Dengan berat ia angkat,
"Zahrana?" Suara yang sangat ia kenal. Suara Bu
Merlin, atasannya di kampus. Bu Merlin, ataulengkapnya
Ir. Merlin Siregar M.T., adalah Pembantu Dekan I. Ia
orang kepercayaan Pak Karman. Sejak SMA ia di
Semarang, jadi logat Bataknya nyaris hilang. Bahasa
Jawanya bisa dibilang halus.
"Iya Bu Merlin." Jawabnya dengan airmata menetes di
pipinya.
"Saya dan rombongan Pak Karman sudah sampai
Pedurungan. Dua puluh menit lagi sampai."
"Iya Bu Merlin." Jawabnya hambar, dengan suara
serak.
"Suaramu kok sepertinya serak. Sudahlah Rana,
bukalah hatimu kali ini. Pak Karman memiliki apa yang
diinginkan perempuan. Dia sungguh-sungguh berkenan
menginginkanmu."
"Iya Bu Merlin, semoga keputusan yang terbaik nanti
bisa saya berikan."
"Baguslah kalau begitu. Gitu dulu ya. O ya jangan lupa
dandan yang cantik." Klik. Tanpa salam.
Kali ini yang datang melamarnya bukan orang
sembarangan. Pak H. Sukarman, M.Sc., Dekan Fakultas
Teknik, orang nomor satu di fakultas tempat dia
mengajar. Duda berumur lima puluh lima tahun. Status
dan umur baginya tidak masalah. Sudah bertitel haji.
Kredibilitas intelektualnya tidak diragukan. Materi tak
usah ditanyakan. Di Semarang saja ia punya tiga pom
bensin. Namun soal kredibilitas moralnya, susah
Zahrana untuk memaafkannya. Repotnya, jika ia
menolak ia sangat susah untuk menjelaskan. Ia harus
berkata bagaimana.
Ia telah membicarakan hal ini pada kedua sahabat
karibnya. Si Lina, yang kini jualan buku-buku Islami di
Tembalang. Dan si Wati yang kini jadi isteri lurah
Tlogosari Kulon. Lina berpendapat untuk tidak
mengambil risiko dengan menerima orang amoral
seperti Pak Karman itu. Apapun titel dan jabatannya.
Moral adalah nyawa orang hidup. Jika moral itu hilang
dari seseorang, ia ibarat mayat yang bergentayangan.
Itu pendapat Lina.
Uziek Collection
Uziek Collection
Takbir Cinta Zahrana
Takbir Cinta Zahrana
Sedangkan Wati lain lagi, menurutnya sudah saatnya ia
tidak melangit. Mencari manusia setengah malaikat itu
hal yang mustahil. Selama Pak Karman masih shalat dan
puasa ya terima saja. Apalagi ia orang terpandang. Dan
juga kesempatan seperti ini tidak selalu datang.
Terakhir Wati bilang, "Siapa tahu dengan menikah
denganmu, Pak Karman berubah. Dan di hari tuanya ia
sepenuhnya membaktikan umurnya untuk kebaikan.
Bukankah itu bagian dari dakwah yang agung
pahalanya?"
Ia belum bisa mengambil keputusan. Kata-kata Wati
selalu terngiang-ngiang di telinganya. Ia nyaris
memutuskan untuk menerima saja lamaran Pak Karman.
Namun jika ia teringat apa yang dilakukan Pak Karman
pada beberapa mahasiswi yang dikencaninya diam-diam,
ia tak mungkin memaafkan. Jika sudah demikian
tibatiba wajah keriput kedua orangtuanya muncul
dengan sebuah pertanyaan, "Kowe mikir opo Nduk?
Kowe ngenteni opo? Dadine kapan kowe kawin, Nduk?"1
***
Lima menit sebelum rombongan Pak Karman datang,
Zahrana berbicara kepada kedua orangtuanya. Ia minta
kepada mereka pengertiannya jika ia nanti mengambil
keputusan yang mungkin tidak melegakan mereka
berdua. Diberitahu seperti itu kedua orangtuanya
menangkap apa yang akan terjadi. Dan mereka kembali
pasrah dalam kekecewaan. Namun mereka tetap
berharap akan terjadi hal yang membahagiakan.
Mereka berdoa, kali ini semoga keputusan putri semata
wayang mereka lain dari sebelum-sebelumnya. Semoga
hatinya terbuka. Segera menikah. Dan segera lahir
cucu yang jadi penerus keturunan.
Kamu mikir apa, Anakku? Kamu menunggu apa? Kapan
kamu menikah, Anakku?
la meneguhkan jiwa, menata hati. la juga memprediksi
gaya bahasa yang akan disampaikan pihak Pak Karman.
Dan menyiapkan bahasa yang tepat untuk menjawab. la
juga tidak lupa menyiapkan hidangan yang pantas untuk
menghormati tamu. Ruang tamu telah ia rapikan. Bunga-
bunga ia tata, dan sarung bantal ia ganti dengan yang
baru. Tuan rumah harus bisa menjaga kehormatan. Dan
ia kembali meneguhkan prinsipnya dalam menghadapi
siapapun: harus tenang, bicara yang tepat, rendah hati
dan santun. Itulah senjata para pemenang. Dan ia harus
menang. Ia teringat perkataan Napoleon Hill,
"Kebijakan yang sesungguhnya, biasanya tampak melalui
kerendahan hati dan tidak banyak cakap."
Ia kini tampak tegar. Tak ada lagi airmata. Mental yang
ia siapkan adalah mental seorang dosen pembimbing
yang siap maju sidang membela mahasiswanya
mempertahankan skripsinya. Ia sangat yakin akan
kekuatannya.
Ia berdandan secukupnya. Ia pakai jilbab hijau muda
kesayangannya. Sangat serasi dengan gamis bordir
hijau tua bermotif bunga melati putih kecil-kecil.
Hanya dirinya dan kedua orangtuanya yang akan
menyambut. Ia merasa tak perlu mengundang para
kerabat. Sebab seperti yang telah lalu, jika terjadi hal
yang tidak memuaskan hanya akan jadi gunjingan
panjang tak berkesudahan. Ia tak ingin itu terjadi lagi.
Uziek Collection
Uziek Collection
Takbir Cinta Zahrana
Takbir Cinta Zahrana
Ia ingin para kerabat diundang hanya untuk yang sudah
jadi. Yang tak ada ruang bagi mereka berbincang
kecuali kebaikan. Kali ini yang ia undang justru dua
orang ibu-ibu yang biasa membantu keluarganya selama
ini.
Rombongan Pak Karman datang tepat jam setengah lima
sore. Tidak main-main. Empat mobil. la harus mengakui
kehebatan Bu Merlin mengorganisir ini semua. Juga
keberhasilan Bu Merlin memprovokasi Pak Karman
untuk nekat seperti ini. Ayah ibunya tampak kaget.
Tidak menduga yang datang akan sebanyak ini dan
seserius ini. Untung ruang tamu rumah orangtuanya
cukup luas.
Hanya tiga orang yang tidak dapat tempat duduk.
Terpaksa duduk di beranda. la yakin tujuan Bu Merlin
baik, hanya saja Bu Merlin tidak tahu visi hidupnya saat
ini. Bukan sekadar materi dan kedudukan yang ia
harapkan dari calon suaminya. la mencari calon suami
yang bisa dijadikan imam. Imam yang menjadi bagian
tak terpisahkan dalam ibadahnya kala mengarungi
kehidupan. Karena itulah posisinya benar-benar sulit
kali ini. Bu Merlinlah yang selama ini banyak
membantunya di kampus. Dia jugalah yang dulu memberi
bocoran adanya lowongan dosen di kampusnya.
Rombongan telah duduk tenang. Pak Karman menyukur
bersih kumis dan cambangnya. Ia tampak lebih muda
dari biasanya. Koko biru muda dan peci hitam
membuatnya tampak alim. Seorang lelaki setengah
baya, mengaku sebagai adiknya Pak Karman, namanya
Pak Darmanto mengawali pembicaraan. Unggah-ungguh
dan basa-basi berjalan. Ia sendiri lebih banyak diam.
Tak bicara jika tidak perlu bicara. Ibunya yang
biasanya memang cerewet yang banyak mengimbangi
bicara.
Sesekali ada lelucon-lelucon yang menghangatkan
suasana. Makanan dan minuman dikeluarkan oleh dua
orang ibu-ibu yang rapi berkerudung. "Tape ketan ini
dibuat oleh anakku, si Zahrana ini dengan penuh cinta.
Siapa yang memakannya insya Allah awet muda." Ibunya
melucu sambil mempersilakan tamu-tamunya menikmati
hidangan seadanya. Mendengar hal itu spontan Pak
Karman berkomentar dengan gaya lucu,
"Sebelum yang lain mengambil saya dulu yang harus
mencicipi. Agar awet muda dan bisa menyunting
bidadari."
Spontan perkataan itu disambut tertawa semua yang
hadir, kecuali dirinya. Entah kenapa perkataan itu
menurutnya tidak lucu. Perkataan itu seperti sampah
yang hendak dijejalkan ke telinganya. Bagaimana
mungkin ia hidup bersama orang yang suaranya saja
tidak mau ia dengar.
Lima belas menit basa-basi akhirnya Pak Darmanto,
juru bicara Pak Karman, masuk pada inti kedatangan,
"...dan maksud kedatangan kami adalah untuk
menyambung persaudaraan dan kekeluargaan dengan
keluarga Bapak Munajat. Kami bermaksud menyunting
putri Bapak Munajat, yaitu Dewi Zahrana untuk
saudara kami Bapak H. Sukarman, M.Sc. Alangkah
bahagianya jika maksud dan tujuan kami dikabulkan."
Uziek Collection
Uziek Collection
Takbir Cinta Zahrana
Takbir Cinta Zahrana
Ayahnya menjawab
terbata-bata,
"Pertama....tama, ka...kami sekeluarga menyampaikan
rasa terima kasih atas silaturrahminya. Kami juga
bahagia. Bagi ka..kami lamaran ini adalah suatu bentuk
penghormatan. Dan jika bisa kami akan membalasnya
dengan penghormatan yang le..lebih baik. Namun
masalah jodoh hanya Allahlah yang mengatur. Putri
kami sudah sangat dewasa. Dia lebih berpendidikan
daripada kami berdua. Dia bisa memutuskan sendiri
mana yang baik baginya. Itu yang bisa kami sampaikan."
Masalah sudah jelas. Semua tamu melihat ke arahnya.
la tahu bola sekarang ada di tangannya. Dialah sekarang
yang paling berkuasa di majelis itu. la berusaha untuk
tenang. Setenang ketika ia membantu argumen
mahasiswa yang dibelanya dalam sidang skripsi,
"Saya pernah mendengar Baginda Nabi Muhammad
Saw., pernah bersabda, 'Al 'ajalatu minasy syaithan.
Tergesa-gesa itu datangnya dari setanl' Saya tidak
mau tergesa-gesa. Saya tidak mau mengecewakan
siapapun. Termasuk diri saya sendiri. Maka
perkenankan saya untuk menjawabnya tiga hari ke
depan. Saya akan langsung sampaikan kepada Pak
Karman yang saya hormati. Maafkan jika saya tidak
bisa menjawab sekarang."
Ada sedikit gurat kekecewaan di wajah Pak Darmanto
dan Pak Karman. Namun keduanya tidak bisa bersikap
apapun kecuali setuju. Bu Merlin tersenyum tanda
setuju. Yang lain bisa memahami dan memaklumi.
dengan
suara
rentanya
yang
Hanya Pak Munajat, ayahnya yang meneteskan airmata
mendengar jawaban putrinya itu. Ia sud